GUNUNGKIDUL – //www.RaiderNet.id // Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul menghentikan praktik pemotongan jasa pelayanan (Japel) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari yang sebelumnya dikemas dalam istilah “biaya umum” (BU) sejak tahun 2023 lalu. Namun, pertanyaan besar justru kembali muncul “apakah praktik itu benar telah berakhir, atau hanya berganti bentuk”? Sabtu,5/07/2025
Dana Parcel Lebaran
Berdasar informasi internal menyebut, RSUD Wonosari tercatat memberikan parcel lebaran kepada sekitar 500 pegawai RSUD pada tahun 2024, dan 2025 tepatnya setelah BU dihentikan.
Pemberian parcel dilakukan, meskipun dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) RSUD Wonosari, tidak tercantum pos anggaran untuk pembelian parcel.
Biaya Kuasa Hukum
Temuan lain yang juga menjadi sorotan, yakni penggunaan dana RSUD untuk membayar jasa kuasa hukum profesional, bagi para pegawai tergugat dalam perkara hukum terkait pemotongan jasa pelayanan.
Sebelumnya, disampaikan Direktur RSUD Diah Prasetyorini, Senin (30/06) sore, bahwa RSUD Wonosari memberikan bantuan hukum kepada pegawai aktif RSUD, selaku tergugat perbuatan melawan hukum dengan penggugat, mantan Kepala Bidang RSUD Wonosari, Aris Suryanto, S.Si.T., M.Kes.
Kembali dikonfirmasi terkait dua hal tersebut, Direktur RSUD Diah Prasetyorini menjawab, BU sudah tidak ada, dan mengatakan bahwa parcel lebaran, didapat dari iuran pegawai struktural RSUD.
“BU sampun mboten wonten pak, parcel iuran dari temen-temen struktural pak,” jawab Diah, Jum’at (04/07) pagi.
Sementara, terkait biaya kuasa hukum bagi para tergugat, Diah Prasetyorini mengatakan, diambilkan dari DPA RSUD Wonosari.
“Nggih dari DPA RSUD,” tulis Diah singkat yang dikirim melalui pesan WhatsApp.
Terpisah, sebagai penggugat Aris Suryanto menyatakan, tidak masuk akal secara logika, dan etika anggaran.
Aris menghitung, jumlah pejabat struktural RSUD hanya sekitar 14 orang. Sementara, demikian kata Aris, jumlah pegawai penerima parcel mencapai 500 orang.
“Pendapatan pejabat struktural lebih rendah dibandingkan dengan pegawai RSUD yang lain seperti dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, apoteker, atau para medis. Sulit dipercaya pejabat dengan penghasilan lebih rendah, rela keluar iuran besar, untuk membelikan parcel bagi pegawai dengan penghasilan lebih tinggi,” ucapnya.
Selain itu, Aris juga tidak percaya, biaya untuk membayar jasa pengacara profesional, bersumber dari DPA RSUD.
“Ini pantas untuk tidak dipercaya. DPA tahun 2025 disahkan pada Desember 2024, sedangkan gugatan hukum baru terjadi pada Mei 2025. Artinya, secara teknis dan hukum, tidak mungkin ada penganggaran untuk sesuatu yang belum terjadi,” ungkapnya.
Perubahan anggaran juga tidak mungkin dilakukan karena, menurut Aris, hal itu telah diatur di dalam Peraturan Bupati Gunungkidul No 53 Th 2015 tentang Pedoman Pola Pengelolaan Keuangan BLUD RSUD Wonosari Pasal 18 yang menyebutkan bahwa, revisi Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) RSUD hanya dapat dilakukan apabila menyangkut perubahan atau pergeseran sub program dan sub kegiatan.
Sementara itu, pembiayaan bantuan hukum individu pegawai RSUD bukan bagian dari sub kegiatan RSUD. Sehingga, tidak dapat dimasukkan melalui revisi anggaran.
“Klaim direktur RSUD sangat mudah dibuktikan, karena DPA RSUD bagian dari dokumen APBD yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat,” terangnya.
Jika dana pembayaran pengacara tersebut berasal dari dana ilegal, seperti saldo “biaya umum” atau hasil pungli jasa pelayanan, Aris berujar, maka persoalannya bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan masuk ke wilayah pidana.
Lebih lanjut ditambahkan Aris, berdasarkan hukum pidana (KUHP) Pasal (480) dan UU Tipikor, penerima uang hasil kejahatan yang tahu, atau seharusnya tahu, sumber dana tersebut tidak sah, dapat dikenai pasal penadahan, atau turut serta dalam tindak pidana korupsi.
“Jika pengacara dibayar dari uang ilegal atau pengeluaran non-DPA, dan ia tidak menanyakan asal dana tersebut, maka bisa dikategorikan sebagai penerima hasil kejahatan. Selain ancaman pidana, pengacara yang menerima honor dari sumber tidak sah, juga bisa dikenai sanksi etik oleh organisasi advokat (Peradi/ KAI),” pungkasnya.
Untuk membuktikan uang pengacara berasal dari DPA RSUD atau bukan, maka kata Aris, hal itu akan dilaporkan ke-APH untuk ditelusuri.**
Sumber: Info gunungkidul
(Red)