RELIGI
Oleh : Ummafidz
“Dan janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia karena sombong, dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Luqman : 18)
DALAM sejarah, kita melihat bagaimana banyak pemimpin jatuh bukan karena musuh dari luar, melainkan kesombongan dari dalam dirinya.
Ketika amanah dijalankan dengan amarah, ketika kekuasaan menjadi panggung arogansi, dan ketika hinaan dijadikan tontonan, saat itulah kepemimpinan menjelma menjadi cermin keangkuhan.
Ada yang berubah setelah seseorang berkuasa. Suara yang dulunya lirih kini membentak. Tangan yang dulunya merangkul kini menuding dan menampar batin orang lain.
Bahkan, kemarahan kini bukan hanya dilampiaskan di ruang tertutup, tapi disiarkan ke publik dengan bangga. Seolah sedang menunjukkan kekuasaan dan berhak mempermalukan siapa saja.
Inilah wajah kekuasaan ketika hati tak lagi tunduk pada adab. Ketika jabatan dipeluk dengan kesombongan.
Mengaku sebagai “ratu adil” tapi tak pernah menunjukkan keadilan. Mengangkat diri sebagai pembela rakyat, tapi menginjak harga diri orang kecil.
Apakah lupa bahwa keadilan bukan sekadar label, tapi tanggung jawab yang berat di hadapan Tuhan?
“Ratu adil” dalam sejarah Nusantara adalah sosok yang memuliakan yang lemah, bukan menindas. Yang membela kebenaran, bukan mempermalukan orang lain demi memuaskan ego kekuasaan.
Kepemimpinan sesungguhnya bukan ajang pamer. Tetapi saat ini, kamera digunakan untuk menaklukkan rasa takut, bukan rasa malu.
Kemarahan direkam. Caci maki disiarkan. Seolah dunia harus tahu bahwa dialah pemilik kebenaran. Padahal dalam sunyi malam, Tuhan melihat semua. Dan tidak ada kamera yang lebih tajam dari pandangan Allah SWT terhadap isi hati kita.
Seandainya kita membuka kitab sejarah, akan ditemui satu nama agung: Muhammad SAW, pemimpin segala pemimpin. Ia tak butuh untuk dikenal. Tak perlu gelar untuk disegani.
Ketika sahabatnya berbuat salah, ia tidak mempermalukannya, tapi mendidiknya.
Ketika kota Mekkah takluk di tangannya, ia tak membalas dendam, tapi memaafkan:
“Pergilah kalian, kalian semua bebas.” Itulah pemimpin. Yang menangis dalam sujud, bukan menggertak dalam siaran langsung. Yang malu di hadapan Tuhan, bukan bangga di hadapan penonton.
Orang bisa duduk di kursi megah, mengenakan baju kebesaran, mengangkat dagu tinggi-tinggi. Tapi di mata langit, ketinggian bukan dinilai dari jabatan, melainkan dari kerendahan hati.
“Barang siapa merendah karena Allah, maka Allah akan meninggikannya.”
(HR. Muslim).
Sementara orang yang membusungkan dada karena kekuasaan, akan direndahkan oleh sejarah, ditelanjangi oleh waktu, dan dicatat oleh malaikat sebagai pemimpin yang mempermalukan, bukan memuliakan.
Jabatan bukan perisai yang akan menolong kelak di Padang Mahsyar.
Suara yang tinggi tidak akan menyelamatkan dari neraka, jika disalahgunakan untuk menghina yang lemah.
Kamera yang merekam setiap amarah, bisa jadi menjadi bukti yang menjerat di hari hisab.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sejarah tak pernah memihak pada pemimpin yang angkuh. Waktu akan mencatat, siapa yang memimpin dengan cinta, dan siapa yang memerintah dengan cercaan.
Meski diam, rakyat memiliki hati yang peka. Mereka bisa lupa pada janji-janji, tapi tidak pada rasa sakit yang ditanamkan oleh tangan kekuasaan.
Maka jika masih berkuasa, turunkan suara. Lipat amarah. Lupakan gelar-gelar yang disematkan sendiri.
Sebab jika langit murka, tak ada pangkat yang bisa menyelamatkan dari runtuhnya singgasana.