RELIGI
Oleh: Ummafidz
“Janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).
Tepuk tangan kadang lebih berbahaya daripada hujatan. Pujian yang terus-menerus diterima dapat menutup mata hati, membuat seseorang merasa berada di puncak kekuasaan yang tak tergoyahkan.
Padahal, setiap jabatan hanyalah titipan singkat, setiap penghormatan hanyalah ujian.
Ada pemimpin yang lupa bahwa singgasana dibangun dari keringat banyak tangan, bukan dari bentakan atau amarah. Ia merasa tinggi dengan merendahkan orang lain, lupa menghargai mereka yang pernah membantunya meraih kekuasaan.
Orang-orang yang berjuang di sisinya, yang turut membantu proses panjang mencapai posisi tersebut, tiba-tiba diabaikan dan dilupakan setelah puncak kekuasaan tercapai.
Pujian dunia datang dan mengaburkan pandangan, hingga ia merasa bisa berdiri sendiri. Sementara di sekelilingnya, orang-orang rakus sibuk menimbun harta dan kepentingan, seolah kekuasaan adalah ladang untuk memuaskan nafsu, bukan amanah untuk menebar kebaikan.
Sejarah telah berulang kali mengingatkan kita. Qarun pernah tenggelam dalam kesombongan karena kekayaannya.
Ia berkata dengan angkuh:
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78).
Namun, semua itu lenyap saat bumi menelannya beserta harta yang ia banggakan.
Fir’aun pun demikian, merasa dirinya paling berkuasa, bahkan mengaku sebagai tuhan. Tetapi keangkuhannya berakhir di dasar lautan.
Berbeda dengan para nabi yang justru memandang penghargaan dan kekuasaan sebagai ujian keikhlasan.
Nabi Yusuf ‘alaihissalam, saat diangkat menjadi penguasa Mesir, tidak mabuk tepuk tangan. Ia justru berdoa:
“Ya Tuhanku, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang saleh.” (QS. Yusuf: 101).
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, dengan segala kebesaran kerajaannya, berkata:
“Ini adalah karunia dari Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau kufur.” (QS. An-Naml: 40).
Kekuasaan sejati tidak diukur dari seberapa keras seorang pemimpin bisa memarahi, tetapi dari seberapa dalam ia mampu merangkul.
Kemuliaan bukan terletak pada banyaknya sanjungan, melainkan pada kesediaan untuk merendahkan hati di hadapan rakyat dan Tuhannya.
Tepuk tangan bisa mengaburkan pandangan. Ia bisa membuat seseorang buta terhadap kekurangan sendiri, merasa tak perlu belajar, dan mengira dirinya pusat kebenaran.
Padahal, yang sejati adalah ketika seorang pemimpin mampu menundukkan ego, mengakui kelemahan, dan menghargai setiap orang yang pernah berjuang bersamanya.
Ketika dunia berhenti bertepuk tangan, hanya hati yang bersih dan amal yang tulus yang akan tetap berdiri tegak di hadapan-Nya.