OPINI
Oleh: Aris Suryanto
PENGGELEDAHAN Dinas Pendidikan oleh Subdit Tipidkor Polda DIY beberapa hari yang lalu, menjadi peristiwa penting dan langka dalam sejarah birokrasi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Untuk pertama kalinya, dugaan tindak pidana korupsi benar-benar menyentuh meja kerja para pejabat daerah. Tapi mari kita jujur, ini baru permukaannya.
Korupsi di Gunungkidul adalah fenomena gunung es. Apa yang tampak, hanya bagian kecil dari masalah besar yang tersembunyi dan dibiarkan. Apa yang diberitakan, hanya bagian kecil dari sistem yang lebih luas, lebih mapan, dan lebih lihai menyembunyikan diri.
Di bawah permukaan, praktik korupsi berjalan dengan lebih halus, lebih sistemik, dan lebih menyakitkan. Dugaan transaksi jual beli jabatan bukan sekadar isu. Proyek pemerintah dimaknai sebagai alat “balas jasa politik”, pungutan liar di sektor layanan publik, berjalan secara terang-terangan.
Salah satu contoh nyata adalah pungli jasa pelayanan di RSUD Wonosari yang telah berlangsung bertahun-tahun. Pungutan ini dibungkus dengan istilah “biaya umum,” memotong jasa pelayanan yang seharusnya dibayarkan penuh kepada pegawai.
Praktik ini tumbuh subur karena pembiaran oleh pengawas internal hingga pemerintah daerah. Selama bertahun-tahun, tidak ada evaluasi serius. Tidak ada koreksi sistem. Akhirnya, pungli ini menjadi budaya terselubung yang dianggap normal oleh pelakunya.
Dugaan korupsi di Gunungkidul juga menyusup ke sektor ekonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam. Kredit macet di bank milik BUMD kerap menjadi ruang gelap yang tak tersentuh hukum. Banyak kredit disalurkan kepada debitur bermasalah tanpa jaminan memadai, kadang karena intervensi pejabat atau permainan orang dalam.
Subsidi salah sasaran juga menjadi isu laten. Perizinan usaha adalah sektor rawan lainnya. Mahalnya pengurusan ijin investasi dan prosesnya yang kerap tidak transparan telah membuka celah praktik suap.
Situasi makin parah ketika pihak yang seharusnya menjadi kontrol sosial ikut bermain. Banyak LSM bersikap seperti penjaga yang hanya menggonggong ketika lapar.
Birokrasi memang pandai bersolek. Di atas kertas tampak bersih, di media tampil berintegritas, tapi di dalam justru busuk oleh kompromi dan kepalsuan. Deklarasi zona integritas, baliho antikorupsi, dan piagam-piagam penghargaan hanya menjadi etalase. Label zona integritas tidak menjamin proses di dalamnya bebas dari korupsi.
Bagi banyak ASN yang masih punya nurani, situasi ini menjadi tekanan psikologis dan moral yang berat. “Kalau tidak melaksanakan perintah pimpinan, nanti dianggap melawan. Tapi kalau melaksanakan, bisa jadi masuk bui. Semuanya ngeri-ngeri sedap.”
Kalimat itu bukan sekadar keluhan, tapi gambaran nyata bagaimana birokrasi telah menjebak para pegawai dalam dilema moral yang kejam. Mereka dipaksa tunduk pada sistem, atau dikorbankan.
Yang membuat korupsi di Gunungkidul sulit dibasmi adalah karena ia sudah menjadi budaya pembiaran. Bukan hanya pelaku yang bersalah, tapi seluruh ekosistem yang membiarkannya. Pengawas yang diam, atasan yang menutup mata, masyarakat yang takut bersuara, dan lembaga hukum yang pilih-pilih kasus.
Saat ini, Gunungkidul membutuhkan tindakan serius, bukan lagi pencitraan. Sekarang saatnya membongkar es, bukan hanya menyeka uapnya. “Korupsi bukan hanya terjadi di kantor, tapi juga di lapangan. Ia bukan hanya soal uang, tapi juga soal kuasa dan diamnya semua pihak yang tahu tapi memilih tidak peduli